Teuku Umar, Pahlawan dari Aceh
Namanya Teuku Umar. Ia lahir tahun 1854 di Meulaboh, Aceh Barat. Ia adalah putra seorang Ulèëbalang bernama Teuku Achmad Mahmud, putra adik perempuan Raja Meulaboh. Teuku Umar sejak kecil dikenal ramah, cerdas, pemberani, dan kadang suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras kepala dan pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan.
Perlu Quipperian ketahui bahwa Teuku Umar semasa hidupnya tidak pernah mendapakan pendidikan formal, namun tentu saja itu bukan alasan untuk ia tidak menjadi seorang pemimpin yang kuat dan dikenal pemberani.
Tahukah kalian, Quipperian, satu kejadian yang begitu menggetarkan hati masyarakat Meulaboh tepat tanggal 26 Maret 1873, di mana Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Teuku Umar yang masih berumur jagung juga ikut serta dalam peperangan. Tak heran, jika usianya yang masih seumuran jagung itu, ia telah diangkat sebagai kepala desa di daerah Daya Meulaboh.
Saat berperang dengan Belanda, Teuku Umar berhasil menundukkan pos-pos pertahanan dengan berpura-pura mengelabuhi Belanda sehingga ia berhasil memperoleh kepercayaan mereka dan diberikan peran yang lebih besar. Taktiknya berhasil, sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang panglima Laut sebagai tangan kanannya pun dikabulkan.
Hebatnya, Ia berhasil menundukkan pos-pos pertahanan dengan berpura-pura untuk mengelabuhi Belanda untuk selanjutnya diberi peran yang lebih besar. Taktiknya berhasil, sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang panglima Laut sebagai tangan kanannya pun dikabulkan.
Namun sangat disayangkan, Quipperian, suatu hari di Lampisang, Teuku Umar mengadakan pertemuan rahasia yang dihadiri para pemimpin pejuang Aceh, mereka merundingkan tentang rencana Teuku Umar untuk kembali memihak Aceh dengan membawa lari semua senjata dan perlengkapan perang milik Belanda yang dikuasainya. Benar-benar tak habis pikir, barulah saat itu Cut Nyak Dhien sadar bahwa selama ini suaminya telah bersandiwara di hadapan Belanda untuk mendapatkan keuntungan demi perjuangan Aceh, bahkan gaji yang diberikan Belanda secara diam-diam dikirim kepada para pemimpin pejuang untuk membiayai perjuangan.
Peperangan sengit pun dimulai, tepat tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar.
Pemerintah kolonial Belanda benar-benar geram setelah mengetahui kebenaran itu, ia lalu memecat Deykerhooff dan digantikan dengan Jenderal Vetter. Ia pun tak pikir panjang untuk itu, secepat kilat didatangkannya tentara dari Pulau Jawa, Vetter pun mengajukan ultimatum kepada Umar untuk menyerahkan kembali semua senjata kepada Belanda, namun Umar tidak mau memenuhi tuntutan. Tepat tanggal 26 April 1896 Teuku Johan Pahlawan pun dipecat sebagai Uleebalang Leupung dan Panglima Perang Besar Gubernemen Hindia Belanda.
Alasan yang sama mengharuskan Teuku Umar untuk memperkuat pertahanan, Ia pun mengajak uleebalang- uleebalang yang lain untuk memerangi Belanda. Pada 1896, seluruh komando perang Aceh mulai dikerahkan di bawah pimpinan Teuku Umar, ddibantu oleh istrinya Cut Nyak Dhien dan Panglima Pang Laot (Panglot), dan mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan tentu saja ini adalah pertama kali dalam sejarah perang Aceh dimana tentara Aceh dipegang oleh satu komando.
Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama seluruh kekuatan pasukannya untuk bergabung dengan Panglima Polem, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para Uleebalang serta para ulama terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada raja Aceh Sultan Muhammad Daud Syah, demikian kekuatan cinta tanah air bersatu.
Gugurnya Pahlawan Aceh
Februari 1899, Jenderal Van Heutsz menerima laporan tentang kedatangan Teuku Umar di Meulaboh, mendengar kabar itu, segera Ia kerahkan sejumlah pasukan yang cukup kuat di Perbatasan Meulaboh. Malam menjelang 11 Februari 1899 Teuku Umar bersama pasukannya tiba di pinggiran kota Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut ketika pasukan Van Heutsz tiba-tiba mencegat dan Posisi pasukan Umar benar-benar tidak menguntungkan, tentu tak ada jalan lain bagi mereka selain maju, tidak mungkin mundur dan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya adalah bertempur, duka terdalam pun menyelimuti masyarakat aceh, karena Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus hingga dadanya.
Quipperian, mendengar berita kematian suaminya, Cut Nyak Dhien tak kuasa atas isak tangisnya, Ia benar-benar terpukul akan kepergian suaminya. Walau demikian, Cut Nyak Dhien tak pantang menyerah atau bahkan mengurungkan niat akan perjuangan kemerdekaan yang harus dipertahankan. Menyaksikan gugurnya Teuku Umar, Cut Ia lalu bertekad kuat meneruskan perjuangan suaminya bersama rakyat Aceh melawan Belanda. Tanpa pikir panjang, Ia pun mengambil alih pimpinan perlawanan pejuang Aceh.
Sebagai Penghargaan
Quipperian, atas pengabdian dan perjuangan serta semangat juangnya itu pun Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air. Salah satu kapal perang TNI AL dinamakan KRI Teuku Umar (385), tak hanya itu, Universitas Teuku Umar di Meulaboh pun diberi nama berdasarkan namanya, Universitas Teuku Umar.
Penulis: Avinda Eka Utami