Siapa pernah mendengar nama Butet Manurung? Buat kamu yang belum tahu, Quipper Video Blog kasih tahu nih! Dia itu adalah sosok perempuan luar biasa yang mendedikasikan dirinya sebagai suku pedalaman di Jambi. Ia juga mendapat penghargaan hingga kancah internasional lho. Hebat kan!
Peraih Berbagai Penghargaan
Banyak sekali penghargaan yang Butet pernah raih. Salah satu penghargaan yang Butet raih adalah UNESCO Man and Biosphere Award pada 2001. Majalah Time menjuluki perempuan kelahiran Jakarta ini sebagai “Heroes of Asia Award 2004.”
Ia dinobatkan sebagai salah satu wanita berpengaruh versi majalah Globe Asia edisi Oktober 2007, Asia Young Leader di 2007, Young Global Leader di 2009, Ernst and Young Indonesian Social Entrepreneur of the Year 2012, dan sempat menempati peringkat 11 dari 99 perempuan paling berpengaruh di Indonesia.
Pada tahun 2014, Butet meraih penghargaan Ramon Magsaysay Award dan cerita tentang Sokola Rimba, sekolah binaannya, masuk layar lebar pada tahun 2013. Baginya, tidak ada yang lebih menggembirakan untuk kembali ke hutan dan dipanggil “Bu Guru” oleh murid-muridnya.
Tidak seperti anggapan orang, Butet adalah sosok yang suka bercanda dan ceria. Kata Butet, jangan bayangkan guru-guru galak atau perempuan bernada tegas khas orang Batak. Bahkan suaranya lemah lembut ketika berbicara.
Terlahir dengan nama lengkap Saur Marlina Manurung pada 21 Februari 1972 dari keluarga berkecukupan, Butet kecil pernah merasakan hidup di lingkungan yang overprotective. Ayahnya sering melarang Butet kecil main kotor-kotoran atau pergi tanpa sopir. Jiwanya yang pemberontak malah membuat sosok Butet dewasa sebagai perempuan yang berani.
Mendapat Penolakan
Awalnya, Orang Rimba menolak Butet yang datang membawa misi pengajaran. Bagi Orang Rimba, pendidikan adalah budaya asing berbahaya dan bukan budaya mereka.
Saat Butet mengajak untuk menyentuh pendidikan, mereka menganggap pendidikan adalah utusan penjahat yang mencelakakan. Bahkan pulpen, kata Suku Kubu, adalah senjata setan. Padahal, tidak seberuntung Quipperian yang bisa mengakses internet dan belajar dari mana saja, Orang Rimba (suku pedalaman di Jambi) sulit mendapat akses pendidikan yang layak.
Banyak di antara mereka yang bahkan di zaman serba digital ini, belum bisa baca tulis. Akibatnya mereka sering tertipu orang asing karena tanah mereka dirampas lewat selembar surat perjanjian. Namun, Butet yang merupakan lulusan Antropologi Universitas Padjadjaran ini selalu optimistis berhasil meyakinkan mereka bahwa pendidikan itu penting.
Ia rela menyesuaikan diri dengan hidup bersama dengan Orang Rimba. Ia mencoba memahami pola hidup mereka, makan, dan berpakaian seperti Orang Rimba. Bahkan, ia berani makan kodok, ulat, biawak, hingga ular sebagai santapan sehari-hari. Waduh, Quipperian berani enggak ya?
Pada akhirnya Butet mendirikan Sokola Rimba tempat ia dan kawan-kawan Orang Rimba belajar bersama. Sehingga berkat pengabdiannya itu, Orang Rimba atau suku Anak Dalam atau Kubu di Taman Nasional Bukit Dua belas dan Bukit Tiga puluh Jambi, sekarang bisa baca tulis.
Sekarang, anak-anak Suku Dalam sudah bisa ikut dalam proses jual beli tanpa tertipu lagi karena sudah bisa membaca dan memahami surat perjanjian.
Tentang Sokola Rimba
Sokola Rimba didirikan Butet Manurung sebagai wadah untuk mendidik dengan pendekatan antropologis. Butet melakukan pengajarannya dengan ikut tinggal bersama anak didiknya. Ia memahami pola hidup, situasi, dan adat yang melingkupi kehidupan peserta didiknya untuk menyusun pengajaran yang sistematis. Sehingga, tidak seperti sekolah formal yang dibangun di suatu tempat dengan tembok dan atap yang kokoh. Sokola Rimba memungkinkan siswanya belajar sambil berpindah-pindah.
Perempuan berdarah Batak ini, membagi-bagikan alat tulis berupa buku bergaris, pensil, dan pena untuk anak-anak didiknya, Orang Rimba. Butet mengajarkan anak didiknya dengan kreatif. Jika tidak kebagian alat tulis, ia mengizinkan mereka menggunakan ranting dan menggarisi tanah.
Seperti halnya ketika memperkenalkan huruf, ia menghubungkannya dengan benda-benda yang tidak asing bagi Orang Rimba. Contohnya, huruf A yang dihubungkan dengan bentuk atap, C dengan pegangan periuk, dan lain sebagainya.
Butet meringkas semua huruf menjadi 14 kelompok berpasangan. Metode ini mengantarkan Butet meraih “The Man and Biosphere Award” LIPI-UNESCO. Selain mengajarkan Suku Anak Dalam baca tulis hitung, Butet juga membagikan pengetahuan life skill sehingga mereka memiliki pengetahuan mengenai organisasi dan dunia luar.
Jadi, kalau Orang Rimba ditanya orang luar kenapa tidak pakai baju, mereka bisa jawab “karena pakaian ini yang biasa kami pakai dari dulu”. Kalau pakai cawat ‘kan kita bisa manjat pohon!’
Sokola Rimba menjadi cikal bakal lahirnya Sokola-Kelompok Pendidikan Alternatif. Sekolah ini, sudah menyebar di berbagai daerah di Indonesia, di antaranya Jambi, Aceh, Bulukumba (Sulawesi), Makassar, Flores, Pulau Besar dan Gunung Egon, Helmahera, Klaten, dan Bantul.
Pendidikan Kontekstual
Menurut Butet, Indonesia adalah negara dengan ragam adat dan budaya yang sangat kaya. Jadi, sayang kalau cara belajar dan pelajaran harus benar-benar diseragamkan.
Menurutnya, pendidikan yang baik itu adalah pendidikan kontekstual. Artinya, dalam pendidikan, harus benar-benar memahami apa yang dibutuhkan. Jadi, pendidikan kontekstual sebaiknya melibatkan orang setempat untuk mengajar. Misal, kalau di suatu tempat kebiasaannya adalah berburu, sebaiknya diselipkan juga tenaga setempat yang bisa mengajarkan berburu.
Kalau orang setempat ada yang pintar meramu obat, sebaiknya juga orang itu mengajarkan cara membuat obat. Sehingga, satu komunitas bisa belajar tentang kekuatan sendiri dari orang-orang sendiri.
Biasanya, orang setempat tahu hal-hal yang relevan dengan kebutuhan mereka sendiri. Misalnya, kalau kena malaria, mereka sudah langsung sigap mengatasinya karena memang sudah belajar tentang obat malaria. Jadi, kalau ada masalah muncul, masyarakat bisa langsung fokus pada solusi dan cara yang sudah diajarkan oleh guru-guru setempat. Tidak perlu membuang waktu mengulik pengetahuan yang tidak relevan dengan masalah setempat.
Namun, menurutnya bukan berarti orang luar tidak boleh mengajar. Orang luar bisa jadi fasilitator. Dengan demikian, orang dalam bisa memahami apa yang kurang dari mereka sehingga guru luar bisa masuk mengisinya.
Butet Manurung’s Website: https://thejungleschool.wordpress.com/
Twitter: @manurungbutet
Penulis: Carisya Nuramadea
Sumber Foto:
https://thejungleschool.files.wordpress.com
Sumber:
http://www.insideindonesia.org
