Home » Quipper Land » Quipper Info » Nongkrong dan Berdiskusi Bareng Mengenai Pendidikan Berbasis Keterampilan

Nongkrong dan Berdiskusi Bareng Mengenai Pendidikan Berbasis Keterampilan

Nongkrong dan Berdiskusi Bareng Mengenai Pendidikan Berbasis Keterampilan

Sabtu (5/5) lalu, Quipper yang diwakili oleh Pipit Indrawati (Content Manager) menjadi salah satu co-fasilitator forum diskusi yang digagas oleh Komunitas Cerita Aja! untuk mendiskusikan perihal kondisi pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan berbasis keterampilan. Forum diskusi ini bertajuk Nongski (Nongkrong dan Diskusi), satu bentuk diskusi santai yang diselenggarakan oleh Komunitas Cerita Aja! untuk mendiskusikan hal-hal penting di sekitar kita yang kita pedulikan secara ringan dan interaktif untuk kalangan pemuda. Hadir pula Dwina Putri selaku COO maubelajarapa.com dan Rudy Djumali–Senior Advisor GIZ Indonesia.

Latar Belakang Diskusi

Berdasarkan analisis dari Lowy Institute, tantangan utama pendidikan di Indonesia bukan lagi terkait dengan masalah akses pendidikan, melainkan permasalahan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pemerintah Indonesia berharap untuk dapat mewujudkan “pendidikan berkelas dunia” di tahun 2025, namun demikian, berbagai hasil kajian kinerja pendidikan Indonesia menunjukkan kesenjangan rencana tersebut dengan kesiapan pendidikan di lapangan yang disebabkan karena kurangnya kesiapan pendidik dalam hal pengetahuan dan kecakapan pedagogis, kurangnya luaran hasil belajar siswa, dan kesenjangan antara keterampilan siswa dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.

Peningkatan akses pendidikan secara drastis yang dimulai semenjak Orde Baru melalui pembangunan fasilitas pendidikan dasar dan rekrutmen guru secara besarbesaran berimbas secara signifikan terhadap peningkatan rasio penerimaan siswa baru (enrollment). Sebagai contoh, dalam kurun 1972-2015, terjadi peningkatan rasio penerimaan dari 85% menjadi 105% untuk pendidikan SD, 18% menjadi 85% untuk pendidikan sekunder (SMP dan SMA), dan dari 2% menjadi 24% untuk pendidikan tinggi.

Meskipun demikian, jika dilihat dari kualitas pendidikan, tingkat pencapaian siswa Indonesia masih relatif lebih rendah dari negara-negara lain. Kinerja siswa Indonesia pada tes berstandar dari kurun 1999-2015, belum menunjukkan perubahan capaian yang berarti. Hasil kajian PISA (Programme for International Student Assessment) yang merupakan evaluasi dari organisasi OECD menunjukkan bahwa 42% dari siswa berusia 15 tahun di Indonesia gagal mencapai batas minimal di tiga (3) aspek tes berstandar yakni pada aspek membaca, matematika, dan sains. Hasil dari kajian terhadap pendidikan tinggi juga menunjukkan bahwa institusi pendidikan di Indonesia masih perlu bekerja keras dalam memenuhi kebutuhan keterampilan yang dibutuhkan oleh penyedia kerja dan menghasilkan penelitian yang mendukung inovasi.

Indonesia memiliki visi untuk menjadi negara dengan kekuatan ekonomi 12- terbesar di tahun 2025 dan 8-terbesar di tahun 2045. Untuk mewujudkan aspirasi tersebut, diperlukan tingkat produktivitas tenaga kerja yang tinggi. Sehingga, peningkatan kualitas pendidikan untuk meningkatkan kompetensi siswa, termasuk menyelaraskan keterampilan yang dibutuhkan di pasar tenaga kerja menjadi usaha yang tidak dapat dielakkan. Merefleksikan pada tantangan pendidikan yang dialami di atas, pembahasan atas keseimbangan pendidikan di Indonesia menjadi landasan penting untuk menyeimbangkan tidak hanya kuantitas dan kualitas pendidikan, melainkan juga antara pendidikan berbasis pengetahuan dan pendidikan berbasis keterampilan guna mewujudkan visi Indonesia 2045.

Dalam kaitannya terkait kontribusi pendidikan terhadap perkembangan ekonomi, hasil kajian the Boston Consulting Group (BCG) menyatakan bahwa pendidikan teknik, keterampilan, dan vokasi berbanding lurus dengan tingkat perkembangan ekonomi karena berpotensi untuk mengurangi jumlah pengangguran dan 1 Andrew Rosser, Beyond Access: Making Indonesia’s Education System Work, (Lowy Institute: 2018). meningkatkan produktivitas ekonomi. Namun demikian, pendidikan teknik, keterampilan, dan vokasi sebagai pendidikan berbasis keterampilan masih dipandang sebelah mata dibandingkan dengan pendidikan umum sehingga berdasarkan data dari OECD, rata-rata negara berkembang mengabaikan peran pendidikan berbasis keterampilan dengan hanya mengalokasikan 0.2% dari GDP untuk kepentingan pengembangan pendidikan teknik, keterampilan, dan vokasi yang notabene jauh lebih rendah daripada belanja pendidikan umum lainnya seperti belanja pendidikan dini (4.3% dari GDP) dan belanja pendidikan tinggi (1.3% dari GDP).

Nongkrong dan Berdiskusi Bareng Mengenai Pendidikan Berbasis Keterampilan

Bersama dengan Quipper, Maubelajarapa.com, dan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) Indonesia, Komunitas Cerita Aja! pada tanggal 5 Mei 2018 dalam suasana ingar bingar Hari Pendidikan Nasional mendiskusikan bagaimana keseimbangan pendidikan dapat dicapai untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia baik melalui pendidikan umum dan pendidikan berbasis keterampilan seperti pendidikan kejuruan, vokasi, dan pendidikan non-akademis.

Tidak Selarasnya Kurikulum 2013 dengan Pendidikan Berbasis Keterampilan

Secara filosofis, kurikulum 2013 yang disempurnakan menitikberatkan tujuan pendidikan nasional untuk pembentukan karakter. Meskipun demikian, ada beberapa kalangan yang mengkritisi karakter seperti apa yang ingin dibangun dan apakah misalnya karakter tersebut kompatibel dengan sistem demokrasi. Jika melihat pengalaman negara lain seperti Singapura, tujuan pendidikan nasional adalah untuk menjadi warga negara yang baik sehingga karakter dalam hal ini didefinisikan lebih jelas sebagai karakteristik yang bercorak nasionalis.

Di tingkat teknis, meskipun kurikulum 2013 yang disempurnakan berusaha mendorong apa yang disebut dengan inquiries-learning yang lebih berorientasi kepada pembelajaran dari kehidupan nyata dan bersifat tematik, pada kenyataannya pelaksanaan kurikulum 2013 belum dapat sepenuhnya dilakukan. Banyak pihak guru belum dapat mengimplementasikan prinsip pendidikan tersebut secara step by step akibat pengaruh kuat kebiasaan pengajaran terdahulu yang telah terlanjur mendarah daging sebagai business as usual. Oleh karenanya, pelaksanaan kurikulum tersebut masih perlu untuk dikembangkan perlahan-lahan.

Memahami Keberadaan Pendidikan Akademis dan Non-Akademis

Salah satu butir pembahasan yang penting selama diskusi adalah mengenai pentingnya menyebarluaskan pemahaman bahwa pendidikan bukan hanya aspek akademis tetapi juga mencakup aspek non-akademis, serta bukan hanya pada dimensi pendidikan formal, tetapi juga dimensi informal. Perusahaan start-up pendidikan seperti Quipper dan Maubelajarapa.com muncul untuk mengisi upaya meningkatkan kualitas pendidikan dan pengalaman belajar sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses tumbuh dan berkembang. Quipper bergerak di pendidikan akademis yang bersifat informal dengan mengembangkan platform online learning sementara Maubelajarapa.com adalah pendidikan non-akademis yang bersifat informal dengan mengembangkan platform kursus keterampilan dan workshop.

Membahas mengenai tantangan pendidikan di lapangan juga tidak terlepas dari bagaimana menyeimbangkan antara teori dan praktik. Berdasarkan pengalaman para penutur diskusi, banyak penutur dari latar belakang pendidikan umum merasa perlu menyesuaikan diri dan menambah keterampilan khusus ketika memasuki 2 BCG, Vocational Education: The Missing Link in Economic Development, (BCG Perspectives, 2012). pasar tenaga kerja, sementara penutur dari latar belakang pendidikan berbasis keterampilan merasa perlu untuk lebih mengasah kreativitas dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi industrinya. Oleh karenanya, dua aspek pendidikan, yakni akademis dan non-akademis sangat diperlukan di kehidupan nyata.

Pendidikan non-akademis di Indonesia utamanya diterapkan pada pendidikan kejuruan sebagai bagian dari pendidikan berbasis keterampilan. Pemerintahan Presiden Joko Widodo beraspirasi untuk lebih mendorong pengembangan pendidikan kejuruan untuk mewujudkan visi ekonomi berkelanjutan.

Meskipun demikian, GIZ Indonesia mencatat masih banyaknya kendala untuk mengembangkan pendidikan kejuruan akibat dari:

  1. Kurangnya pendanaan kepada pendidikan kejuruan yang justru membutuhkan lebih banyak material seperti bahan baku dan mesin untuk praktik kerja jika dibandingkan dengan pendidikan umum;
  2. Dinamika tarik ulur luaran keterampilan yang dihasilkan dan kebutuhan sektor industri. Sehingga, GIZ Indonesia bersama dengan Kemenko Perekonomian RI akan melakukan program reformasi sistem pendidikan kejuruan dan vokasi (TVET system reform) guna menghimpun inisiatif-inisiatif yang telah berhasil dilakukan dalam pengembangan sistem pendidikan kejuruan dan vokasi.

Solusi Penerapan Pendidikan Berbasis Keterampilan

Salah satu inisiatif yang dianggap berhasil dalam pengembangan pendidikan kejuruan yang dinisiasikan oleh GIZ Indonesia dengan mengkontekstualisasikan praktik pengelolaan pendidikan kejuruan dan vokasi di Jerman pada konteks Indonesia, antara lain melalui teaching factory. Teaching factory adalah suatu model pembelajaran pada pendidikan kejuruan dan vokasi yang menerapkan link and match dengan kebutuhan industri. Atas kesuksesan ini, pada tahun 2016 Direktorat Pengembangan SMK, Kemendikbud telah menunjuk 55 SMK dari seluruh Indonesia untuk mengimplementasikan teaching factory dan menunjuk 19 SMK dibawah Kemendikbud dan Kemenperin yang telah lebih dulu menerapkan teaching factory di bawah pembinaan GIZ Indonesia sebagai pendamping.

Untuk kemajuan pendidikan Indonesia ke depan, dari pendidikan akademis diharapkan arah kurikulum dapat diterka lebih jelas lagi, dan juga bagian tidak terpisahkan dari proses itu adalah termasuk mengembangkan kapasitas guru agar dapat mengimplementasikan kurikulum tersebut sesuai dengan tujuannya. Sementara dari pendidikan non-akademis seperti pendidikan kejuruan dan vokasi adalah agar sektor swasta dapat diberikan peran dan tanggung jawab lebih untuk bersama-sama menyelaraskan kebutuhan industri dengan pendidikan sehingga meleburkan segregasi demand-supply yang selama ini menjadi tarik ulur yang tak berpenghujung di antara pemerintah dan sektor swasta.

Lainya untuk Anda