Pada 23 Juli lalu Indonesia merayakan Hari Anak Nasional. Ironisnya, justru hadiah yang didapat adalah berita sedih karena mencuat kasus Hanum. Tidak pernah terbayangkan dalam benak Mas Hanum Dwi Aprilia (16), pelajar SMAN 1 Gondang Nurul Wakhidah, bahwa ketekunannya bergabung dengan kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya justru berujung kepada cacat seumur hidup.
Hanum mengalami cedera usai menjalani hukuman squat jump akibat datang terlambat dan juga menanggung jatah hukuman sesama temannya yang terlambat. Secara total, Hanum melakukan squat jump sebanyak 90 kali pagi itu.
Lantas, bagaimana bisa kelalaian seperti ini terjadi? Tentunya banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa kekerasan fisik seperti di atas, dan kekerasan dalam bentuk lain dihapuskan dari khasanah kehidupan anak-anak kita. Bagaimanakah cara-cara yang tepat?
Disiplin Positif, Ketegasan Zaman Now
Hukuman yang dialami Hanum di atas termasuk ke dalam jenis hukuman fisik, atau dalam ranah pedagogi dikenal istilah corporal punishment. Komite PBB tentang Hak Anak, dalam Komentar Umum No. 8 (2006), mendefinisikan hukuman fisik atau fisik sebagai “hukuman di mana kekuatan fisik digunakan dan dimaksudkan untuk menyebabkan beberapa tingkat rasa sakit atau ketidaknyamanan, betapapun ringannya.”
Sebagai lawan dari hukuman fisik, pedagog dan pedagogi abad 21 mengenal apa yang disebut dengan disiplin positif. Disiplin Positif mengajarkan orang dewasa untuk menggunakan kebaikan dan ketegasan pada saat yang sama dan tidak bersifat menghukum atau permisif.
Alat dan Konsep Disiplin Positif Meliputi:
- Saling menghormati. Orang dewasa meneladankan ketegasan dengan menghormati diri dan kebutuhan kondisional mereka sendiri dan kebaikan dengan menghormati kebutuhan anak.
- Mengidentifikasi keyakinan di balik perilaku tersebut. Disiplin yang efektif mengenali alasan anak-anak melakukan apa yang mereka lakukan dan bekerja untuk mengubah keyakinan itu, bukan hanya mencoba mengubah perilaku.
- Komunikasi yang efektif dan keterampilan memecahkan masalah.
- Disiplin yang mengajarkan (dan tidak permisif atau punitif).
- Berfokus pada solusi, bukan hukuman.
- Pemberian dorongan (bukan pujian). Upaya pemberitahuan usaha dan perbaikan, tidak hanya sukses, dan membangun harga diri dan pemberdayaan jangka panjang
Praktik Disiplin Positif di Sekolah
Apa tandanya sebuah sekolah telah menerapkan disiplin positif di dalam kesehariannya? Berikut beberapa cirinya:
1. Membangun Kegiatan Belajar Tepat Tumbuh Kembang Anak
Tahap Usia 0 – 7 tahun peran orangtua dan guru adalah hanya dengan menjadi suri teladan yang baik untuk ditiru oleh anak dan menghadirkan lingkungan yang positif baginya. Tahap Usia 7 – 14 tahun, orangtua dan guru dapat menerapkan perannya sebagai pemangku otoritas yang disegani dan dihormati untuk menyediakan referensi yang kaya kepada anak terkait dengan standar perilaku yang sedang dibangunnya.
Tahap Usia 14 – 21 tahun, orangtua dan guru dapat berperan sebagai penasihat untuk membangun standar perilaku anak yang tepat bagi dirinya maupun lingkungannya, dan juga menjadi teman diskusi yang setara untuk memberikan pertimbangan kepada anak terkait dengan dampak positif dan negatif atas segala perilaku yang sedang dilakukannya.
2. Memahami Karakteristik dan Kebutuhan Anak
Setiap anak itu unik. Guru dan pendidik di sekolah sebagai pihak dewasa semestinya tidak menyeragamkan cara pendampingan untuk semua anak, baik anak-anak di sekolah (anggota kelas) maupun di rumah (adik-kakak). Oleh karenanya, langkah pertama yang bisa guru dan pendidik di sekolah lakukan adalah memahami karakteristik mereka. Pelajari lebih jauh keunikan setiap anak, apakah ia tipe anak yang aktif, sensitif, temperamen, kritis, dan sebagainya. Apa yang ia sukai, bagaimana cara belajarnya, bagaimana hubungan pertemanannya, dan sebagainya.
3. Menyelenggarakan Gotong Royong antara Guru dan Orangtua
Seringkali sekolah menjadi tempat “penitipan” anak sementara orangtua bekerja. Banyak juga orangtua yang hingga kini masih percaya jika sekolah adalah tempat mendidik anak yang utama tanpa perlu bantuan atau kerjasama dari rumah. Dengan menjadikan guru sebagai partner, orangtua dapat mulai membangun komunikasi dan kerjasama untuk saling mengetahui perkembangan anak, apa pencapaian-pencapaian kecil yang telah mereka raih, dan apa kendala yang sedang mereka hadapi dalam kesehariannya. Berangkat dari itu, orangtua dan guru dapat saling mengetahui kesulitan dan tantangan yang sedang dihadapi dalam mendampingi proses belajar setiap anak.
4. Meningkatkan Intensitas Komunikasi
Biasanya, jauh dekatnya hubungan antara dua orang dipengaruhi oleh seberapa banyaknya mereka saling berkomunikasi (misalnya dengan cara mengobrol). Dengan sering mengobrol, kita dapat mengetahui lebih banyak hal-hal tentang lawan bicara kita, termasuk karakteristiknya. Oleh karenanya, orangtua harus dapat mencoba mengalokasikan waktu untuk saling mengobrol dan berbagi, baik dengan anak maupun dengan guru.
5. Membangun Hubungan yang Lentur (Jamak-Peran)
Sebagai orang dewasa, kita perlu menghadirkan diri secara lentur di hadapan anak-anak. Ada saatnya seorang guru berperan sebagai teman diskusi atau sosok kakak (orang dewasa) yang dapat mengerti permasalahan remaja. Orangtua juga dapat menjadi teman yang asyik di saat tertentu ketika di saat yang lain ia adalah sosok pengayom yang “ditakuti” dengan segala otoritas yang dimilikinya.
Penulis: Jan Wiguna