Ini Dia Alasan Kenapa Kamu Harus Nonton Film Dilan 1990!

“Hai, kamu Quipperian ya?
Aku ramal kita akan lulus SNMPTN.” (Amin!)

Hayo, akhir-akhir ini kamu pasti pernah mendengar atau membaca kutipan-kutipan yang diambil lalu dimodifikasi dari film Dilan semacam ini, deh. Film yang diangkat dari novel karya Pidi Baiq ini sudah bisa dinikmati di bioskop sejak 25 Januari 2018 lalu, lho. Kamu sudah nonton, belum?

Diperankannya Dilan oleh Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan alias Iqbaal eks Coboy Junior sempat bikin fans garis keras novelnya protes berat karena image Dilan sebagai pentolan geng motor dianggap tidak dapat terwakili dengan baik oleh karakter abege imut baik-baik yang dimiliki Iqbaal. Kalau menurut saya sih, dipilihnya Iqbaal bukan hal yang di luar nalar. Dia pun sudah punya pengalaman berakting. Lagipula, coba dipikir-pikir lagi, siapa aktor berwajah good looking yang tetap khas Indonesia seusia anak SMA? Kamu mau nyalonin siapa, coba? Reza Ra…… eits! Usia SMA, guys! Sang penulis novel yang selektif dalam pemilihan peran di film ini pun setuju dengan digaetnya Iqbaal.

Dilan 1990

Sebetulnya, status Iqbaal sebagai eks boyband yang tentu saja punya penggemar sendiri turut membantu film ini menggaet penonton. Hal ini dibuktikan dari lebih banyaknya penonton usia di bawah 17 tahun di dalam teater saat saya nonton. Saya yakin, paling tidak 80% dari mereka mengidolakan Iqbaal. Mereka jauh dari kesan 1990 yang diusung film ini. Saya kira film ini akan jadi bahan nostalgia dan lebih banyak menghadirkan penonton dewasa yang rindu masa-masa menelepon dengan telepon umum. Rupanya, tebakan saya salah. Saya sih berhasil dibuat rindu oleh adegan jalanan tanpa macet.. *menyeka keringat dalam kemacetan ibukota*

Berlatar di Bandung, dalam film sepanjang 110 menit ini, semesta berputar mengelilingi Milea karena Milea versi dewasa merupakan naratornya. Jadi, bersiaplah untuk mendengar voice over dari Milea dewasa sepanjang film. Kehidupan gadis ini hampir tanpa cela karena dia cantik. Ya. Karena. Dia. Cantik. Saking cantiknya, banyak laki-laki di sekitarnya jadi saling bermusuhan karena merebutkan dia—mulai dari Dilan, pacarnya di Jakarta, ketua kelas, hingga guru les privatnya yang keukeuh ngajakin dia jalan-jalan. Duh, coba Milea pakai Quipper, dia nggak perlu ngerasain seremnya dipaksa jalan bareng sama guru privatnya itu, hihi.

Film Dilan 1990

Chemistry yang ditampilkan Dilan dan Milea saya rasa cukup kuat. Mereka harus siap dijodoh-jodohin penonton di dunia nyata. Cuma, saya dibuat agak bosan dengan reaksi Milea yang terus menerus menanyakan “kenapa?” tiap kali Dilan mulai ngemodusin dia. Tapi, akting polos yang ditampilkan Vanesha Prescilla beserta suaranya yang imut-imut itu justru cukup menghibur penonton, karena tanpa itu, Dilan nggak akan berhasil ngegombal. Bayangkan kalau bukannya polos, Milea malah galak, senggol-bacok a la cewek PMS. Dilan dibuat mati kutu. Bisa gagal total deh film ini.

Dari awal hingga akhir film, saya juga tidak melihat adanya peningkatan atau perubahan watak karakter. Semuanya sama-sama tidak diberi kesempatan untuk jadi lebih baik. Saya jadi kurang paham maksud Milea dewasa menceritakan sepotong bagian hidupnya ini ke kita. Meskipun film ini mengundang tawa banyak penonton dalam teater, tapi saya termasuk segelintir yang tidak berhasil dibuat tertawa. Hanya senyum-senyum kecil beberapa kali. Entah selera humor saya yang aneh atau apa, saya malah lebih terhibur dengan adegan yang dilakoni seorang figuran, duh. Ending dari film ini juga kurang greget, saya bahkan tetap duduk hingga penayangan credit selesai—masih belum percaya ending-nya segitu aja. Hampir dua jam nonton, seakan-akan film ini baru selesai satu babak—belum sampai klimaks. Semoga dahaga karena kurang greget ini bisa dipuaskan oleh film lanjutannya, Dilan 1991.

Untuk hal-hal di luar akting, saya merasa cukup terganggu pada adegan peralihan berupa bulan purnama dan penempatan spanduk sponsor yang menghilangkan nuansa 90-an di adegan lainnya. Lalu, untuk make up pemainnya, saya yang ribet ini agak bertanya-tanya pada alis dan bulu mata para pemeran wanita. Kurang natural aja, tahun 1990 kan belum ada tutorial make up, jadi Wati belajar gambar alis, pasang bulu mata, dan nyatok badai dari mana? Ditambah lagi, luka di wajah Dilan karena berantem dengan teman satu gengnya yang mengagetkan mbok kantin sukses membuat saya berpikir, “lukanya kan sedikit bangeeeeet, si Mbok kok bisa-bisanya kaget?” Selebihnya, saya dapat menikmati musik-musik yang dialunkan di sepanjang film. Untuk puisi-puisinya, sebagian besar sudah ter-spoiler-kan lewat official trailer-nya sendiri. Tapi masih oke, kok.

Overall, film ini tidak menjanjikanmu dengan drama yang mendebarkan, apalagi plot twist bagi kamu yang sama-sama belum membaca novelnya seperti saya. Babak demi babak bisa ditebak dengan mudah selayaknya FTV. Tapi, kalau kamu hanya ingin relax sejenak sambil menikmati adegan-adegan khas 90-an, jokes ringan, serta rayuan gombal Dilan, kamu mungkin akan menyukai film ini. Film ini bisa dinikmati orang-orang dewasa yang pengen nostalgia ke jaman dulu serta anak-anak muda yang sedang suka-sukanya nonton film romantis bareng gebetan. Hmm.. saya tidak menyukai maupun membenci film ini. Saya yakin film ini berhasil dibuat mengikuti novelnya mengingat sang penulis terjun langsung pada proses pembuatannya. Jadi, saya rasa, kalau saja saya sudah membaca novelnya terlebih dahulu, mungkin saja saya bisa menyukai film ini.

Bagaimana, Quipperian? Kamu tertarik menontonnya?

 

Penulis: Evita

Lainya Untuk Anda

Apa Itu Generasi Milenial dan Perbedaannya dengan Generasi X dan Z?

6 Tips Tenang dan Fokus saat Ujian supaya Lancar Mengerjakan Soal!

Ragam Pidato Bertemakan Pendidikan untuk Memperingati Hardiknas