Home » Tips & Trick » Your Life » Abrakadabra Mantra! Salah Kaprah Memahami Tradisi Lisan Nusantara!

Abrakadabra Mantra! Salah Kaprah Memahami Tradisi Lisan Nusantara!

Quipperian pasti sering menyaksikan seorang dukun komat-kamit membaca mantra di film-film horror Indonesia, kan? Biasanya, sang dukun digambarkan sebagai tokoh antagonis, seperti terkesan seram, mistis, dan jahat. Dari gambaran tokoh itu lantas mantra digunakan sebagai penguat kesan di atas.

Bahkan, gambaran tentang tembang “Lingsir Wengi” sebagai pemanggil setan pada film Kuntilanak 2 pun masih tertanam kuat di benak masyarakat hingga kini. Padahal film tersebut keluaran tahun 2007 alias sudah jadul banget.

Tentu pandangan tentang pemanggil setan ini sangat keliru. Tembang merupakan puisi Jawa dengan menggunakan metrum. Pada “Lingsir Wengi” menggunakan metrum durma, bernuansa berani dan amarah. Tak ada kaitannya dengan memanggil makhluk halus dan sejenisnya.

Kekeliruan tentang mantra di masyarakat memang paling besar dibentuk dari film, sinetron, dan iklan. Mantra senantiasa digambarkan sebagai kekuatan jahat atau ilmu hitam. Sementara, lawan mantra terutama di film-film Suzanna selalu kekuatan putih, seperti ustadz dan pemuka agama dengan menggunakan ayat-ayat.

Biar Quipperian enggak makin bingung, gimana kalau kita bongkar satu per satu tentang mantra? Simak, gaes!

Apa Itu Mantra?

Mantra merupakan bagian tradisi lisan di Nusantara. Sebagian ahli bahkan menganggap mantra sebagai puisi tradisional nan mengandung kata-kata magis; isinya merupakan bujukan, kutukan, dan tantangan kepada lawannya.

Mantra, menurut Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, merupakan perkataan atau ucapan mendatangkan daya gaib (misal dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya, susunan kata berunsur puisi (seperti rima) mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib lainnya.

Kehadiran mantra di dalam masyarakat Nusantara telah terjalin sejak lama. Pandangan negatif mantra justru muncul dari para sarjana Eropa ketika hadir di Nusantara. Mereka menganggap mantra sebagai perbuatan takhayul dan mistis.

Ahli Folklor Nusantara, James Danandjaja pada buku Folklor Indonesia: ilmu gosip, dongeng dan lain-lain, membantah pandangan awam orang barat terhadap mantra lantaran dihubungkan dengan takhayul dan mistis.

Tidak ada orang modern manapun, menurut Danandjaja, bisa terbebas dari takhayul, baik dalam kepercayaan maupun kelakuan. Ia mencontohkan orang Amerika sangat percaya suara katak merupakan penanda akan turun hujan.

Klasifikasi Mantra

Selain menjadi bagian tradisi lisan, mantra pun kemudian terekam di dalam tradisi tulis berupa manuskrip. Naskah-naskah tulisan tangan berumur puluhan bahkan ratusan tahun tersebut menyimpan catatan tentang beragam mantra.

Edis S Ekadjati pada Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan melakukan penelitian dan inventarisasi terhadap 1.432 naskah Sunda, baik koleksi di tempat penyimpanan naskah dalam negeri maupun luar negeri. Dari inventarisasi tersebut, diketahui terdapat sekitar 76 naskah berupa mantra dan kumpulan doa bersifat mantra.

Sementara, masyarakat Kerinci mengenal 4 jenis mantra, seperti (Idu Tawar) mantra pengobatan, (Cuco) mantra pengusir roh-roh jahat, (Duwak) mantra kekuatan gaib, dan (Nyeru) berisi pujian terhadap arwah leluhur.

Ragam mantra di dalam naskah tersebut bermacam-macam. Yus Rusyana pada buku berjudul Bagbagan Puisi Mantra Sunda membagi mantra ke dalam 7 bagian, seperti jampi, asihan atau pekasih, singlar atau pengusir, jangjawokan, rajah, ajian, dan pelet.

Di dalam 7 pembagian tersebut, masih dapat dipisahkan mana mantra putih dan mantra hitam. Perbedan keduanya dapat ditelisik dari tujuan mantra, bila mantra hitam untuk perbuatan jahat, dan mantra putih untuk kebajikan.  

Penggunaan mantra putih biasanya ditujukan untuk hal-hal positif, seperti agar dirinya disayangi, keinginannya tercapai, agar perkasa, awet muda, berwibawa, berani menghadapi sesuatu, selamat, mengusir hantu, penangkal santet, menaklukan siluman, ruwatan, menyembuhkan orang sakit atau sarana pengobatan, dan lainnya.

Agar Quipperian tak lagi terjebak dengan stigma negatif tentang mantra, maka disajikan beragam mantra putih, khususnya mantra pengobatan.

Mantra Pengobatan

Mantra dipergunakan sesuai kebutuhan penggunanya. Menurut Elis Suryani NS pada “Rahasia Pengobatan Yang Tersirat Dalam Naskah Mantra”, Jumantara, Vol.2, 2 Oktober 2011, kegiatan masyarakat penghayat mantra tidak terlepas kepada keadaan alam dan mata pencaharian, menghasilkan tiga kelompok besar sehubungan dengan penggunaan mantra, antara lain mantra untuk perlindungan, kekuatan, dan pengobatan.

Mantra di dalam naskah berfungsi menyiratkran permohonan kepada Sang Pencipta. Semua mantra tersebut sepenuhnya disandarkan kepada Allah. Mereka tinggal menunggu keputusan Yang Maha Kuasa. Tak benar bila mantra merupakan perbuatan menyekutukan Allah.

Dengan bekal keyakinan tersebut, mantra dilafalkan untuk tujuan menolong dan mengobati orang lain. Salah satu contohnya, jampe dan jangjawokan.

1. Mengobati Bayi Sakit

Bila mendapati seorang bayi sakit, orang Sunda masa lalu langsung mengambil segelas air putih, kemudian diucapkan mantra:

Jampé Nyeri Beuteung

Peujit pabeulit

Puseur pacangreud

Ka luhur pindah ka jantung

Salatri pindah ka cai

Belekbek belegu…….

Belekbek belegu……

Setelah mantra diucap, orang tersebut lalu mengoles air putih tersebut di atas ubun-ubun bayi. Mantra itu berisi kata-kata peujit pabeulit, puseur pacangreud, ka luhur pindah ka jantung, salatri pindah ka cai, diharapkan agar si bayi sakit lekas sembuh.

2. Aji Penawar Bisa

Di dalam naskah Merapi-Merbabu, terdapat pula beragam mantra. Salah satunya ketika seseorang dipatuk ular dan terkena bisa biasanya akan berucap mantra Aji Penawar Bisa berikut ini:

Bismilah rahmannirahhim. Sira hupas isun upas, sira ggni isun ggni, sira banyu isu banyu huga. Bismilah rahmannirahim. Kita jati tawa, kit tangi kita wiki tawa tawa kita mangko hangsalira saking banyu putih hangsalisun saking banyu putih hangsalira saking banyu tawa”.

Artinya: “Bismilah rahmannirahim. Engkau dapat racun, aku dapat racun, engkau api, aku api, engkau air, aku air juga. Bismilah rahmannirahim. Engkau sungguh tawar, engkau bangun, tawar, tawar, tawar, engkau asalnya air tawar, asalku air tawar, asalmu air tawar”.

Nah, Quipperian sekarang jadi tahu kan kalau mantra enggak cuma digunakan untuk hal-hal negatif? Banyak pula sisi positif mantra yang mudah-mudahan bisa membantu. Tradisi lisan di nusantara adalah bagian dari budaya kita, Indonesia. Yuk, cari tahu dan gali lebih dalam mengenai hal ini hanya di Quipper Blog!

Penulis: Rahmat Ali

Lainya untuk Anda