
Selamat siang Bapak/Ibu, bagaimana kabarnya? Semoga selalu sehat di manapun Bapak/Ibu berada.
Saat mengajar, tentu Bapak/Ibu akan menjumpai berbagai karakter dan perilaku peserta didik di kelas. Homogenitas semacam itu merupakan salah satu tantangan bagi seorang guru untuk bisa mengantarkan semua peserta didik ke arah yang lebih baik.
Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran tidak hanya fokus membenahi tingkat kecerdasan peserta didik melainkan juga sikap, perilaku, watak, dan emosinya atau biasa disebut afektif. Lantas, apa afektif itu? Ingin tahu selengkapnya? Check this out!
Pengertian Afektif
Afektif adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan sikap, watak, perilaku, minat, emosi, dan nilai yang ada di dalam diri setiap individu. Menurut beberapa ahli, afektif ini erat kaitannya dengan kognitif.
Mengapa demikian? Karena semakin tinggi tingkat kekuasaan kognitif seseorang, semakin mudah untuk memperkirakan perubahan perilakunya. Jika ditinjau dari pembelajarn di kelas, hasil pembelajaran bisa berdampak pada perubahan tingkah laku peserta didik.
Pengertian Afektif Menurut Para Ahli

Adapun pengertian afektif menurut para ahli adalah sebagai berikut.
- Menurut Sudjana, yaitu berhubungan dengan sikap dan nilai.
- Menurut David R. Krathwohl, yaitu perilaku yang memberatkan perasaan, emosi, atau derajat tingkat penolakan atau penerimaan terhadap suatu objek.
- Menurut Syamsu Yusuf, yaitu tingkah laku yang mengandung penghayatan suatu emosi atau perasaan tertentu.
- Menurut Pophan, yaitu ranah yang menentukan tingkat keberhasilan seseorang.
Ranah Afektif

Ranah afektif adalah ranah yang berhubungan dengan sikap, watak, karakter, emosi, dan perilaku. Pada kegiatan pembelajaran, ranah afektif menjadi hal penting yang harus menjadi perhatian guru karena tujuan pendidikan tidak hanya mencerdaskan peserta didik, melainkan juga meningkatkan moralnya.
Ranah ini dibagi ke dalam lima aspek afektif, yaitu sebagai berikut.
1. Menerima atau memperhatikan (receiving atau attending)
Aspek ini merupakan aspek yang menekankan adanya rangsangan atau stimulus dari luar. Rangsangan itu bisa berupa masalah, situasi, atau gejala lain. Pada aspek ini, peserta didik diarahkan agar bisa menerima nilai-nilai kebaikan yang diperoleh dari pembelajaran.
Misalnya, tidak pernah mencontek saat mengerjakan tugas, datang ke kelas tepat waktu, rajin mengerjakan PR, dan sebagainya.
2. Menanggapi (responding)
Pada aspek ini, peserta didik bisa melibatkan dirinya secara aktif dalam suatu kejadian dan memberikan reaksinya. Contohnya, muncul keinginan peserta didik untuk mempelajari hal-hal tentang bela negara.
3. Menilai atau menghargai (valuing)
Pada aspek ini, peserta didik sudah mampu memberikan penilaian suatu kejadian itu baik atau buruk. Tidak sampai situ, setelah mereka bisa menilai sesuatu, mereka akan berusaha untuk mengimplementasikan sisi baiknya dan menjauhi sisi buruknya.
Misalnya, bermula dari sekolah, seorang peserta didik mampu menerapkan kedisiplinan di rumah, masyarakat, dan di manapun ia berada.
4. Mengatur (organization)
Pada aspek ini, peserta didik sudah bisa mengombinasikan dua nilai berbeda sehingga menjadi satu nilai baru yang bersifat universal, sehingga terbentuk perbaikan nilai secara umum. Contohnya, keikutsertaan peserta didik di ajang penegakan hukum nasional.
5. Karakteristik dengan suatu nilai (characterization)
Aspek ini merupakan aspek tertinggi di ranah afektif karena peserta didik sudah mampu memadukan semua nilai, sehingga tercermin dari kepribadian beserta tingkah lakunya. Artinya, pada aspek ini sudah tertanam nilai-nilai yang secara konsisten membentuk kepribadian peserta didik.
Penilaian Afektif

Penilaian merupakan metode terukur yang digunakan untuk memberikan nilai akhir pada seseorang. Selama ini, kegiatan penilaian hanya fokus di ranah kognitif. Akibatnya, banyak peserta didik yang lulus sekolah dengan predikat memuaskan namun minim akhlak yang baik.
Mengingat penilaian afektif fokus pada sikap dan nilai, maka penilaian ini tidak bisa dilakukan hanya dari tes. Penilaian bisa berjalan secara efektif melalui non-tes.
Adapun penilaian non-tes bisa dilakukan dengan cara berikut.
1. Observasi
Kegiatan observasi bisa Bapak/Ibu lakukan pada saat kegiatan pembelajaran di kelas. Untuk menguatkan hasil observasinya, Bapak/Ibu bisa membuat lembar observasi, baik secara terbuka maupun tertutup.
2. Jurnal
Jurnal merupakan salah satu bentuk penilaian yang cukup efektif karena bisa mencatat sikap dan perilaku peserta didik dalam waktu satu semester. Catatan perilaku yang dituliskan bisa berupa catatan baik maupun buruk.
3. Penilaian antarteman
Penilaian satu ini membutuhkan objektivitas tinggi. Artinya, pendapat setiap teman harus benar-benar objektif. Penilaian dilakukan menggunakan lembar penilaian yang di dalamnya memuat butir-butir pernyataan sikap positif.
4. Penilaian diri
Penilaian diri merupakan penilaian internal dari diri peserta didik masing-masing. Penilaian bisa dilakukan dengan mendeskripsikan kelebihan maupun kekurangan dirinya serta menyebutkan kesuksesan apa saja yang sudah ia raih.
Pendekatan Afektif
Peradaban unggul tentu diisi oleh orang-orang unggul, yaitu orang yang cerdas, inovatif, dan berakhlak mulia. Untuk mewujudkan itu semua, bisa dimulai dari keluarga maupun lingkungan sekolah. Tugas berat seorang guru bukan mencerdaskan peserta didik, melainkan menjadikan peserta didik berakhlak mulia.
Oleh karena itu, seorang guru juga harus menggunakan pendekatan afektif. Melalui pendekatan ini, Bapak/Ibu bisa memastikan bahwa setiap peserta didik harus bisa bertanggung jawab terhadap pilihan pendidikannya.
Dengan demikian, mereka akan berupaya untuk memaksimalkan potensi kecerdasannya tanpa mengorbankan sisi kebaikan yang mengiringinya.
Fungsi Afektif

Fungsi afektif selalu dikaitkan dengan kehidupan sebuah keluarga. Mengapa demikian? karena fungsi ini berkaitan erat dengan fungsi internal dan tindakan afektif di setiap keluarga.
Tingkat keberhasilan fungsi afektif dalam keluarga bisa terlihat dari kebahagiaan suatu keluarga. Dalam menjalankan fungsi ini, ada beberapa komponen yang harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut.
- Saling mengasuh
- Saling menghargai
- Ikatan dan identifikasi ikatan dalam keluarga.
Munculnya masalah di dalam keluarga dikarenakan tidak terpenuhinya fungsi afektif ini atau justru keluarga tersebut terlalu sering melakukan tindakan afektif, yaitu tindakan spontan yang hanya berdasarkan emosi saja tanpa melalui perencanaan.
Afektif dalam Pembelajaran

Mungkin peribahasa “sambil menyelam minum air” bisa disematkan pada pekerjaan Bapak/Ibu di dalam kelas. Selain menilai ranah kognitif, Bapak/Ibu juga bisa menilai ranah afektif secara bersamaan. Adapun contoh afektif dalam pembelajaran adalah sebagai berikut.
- Menugaskan peserta didik untuk membentuk kelompok diskusi, lalu Bapak/Ibu memantau jalannya diskusi setiap kelompok. Dari kegiatan tersebut Bapak/Ibu bisa menilai sikap dan perilaku setiap anggota kelompok saat berinteraksi dengan orang lain.
- Mengadakan sesi presentasi di depan kelas, lalu sesi tersebut diakhiri dengan tanya jawab. Dari kegiatan ini, Bapak/Ibu bisa menilai cara peserta didik dalam bertutur kata, baik dengan teman maupun guru.
- Mengadakan program menghias kelas. Dari kegiatan ini, Bapak/Ibu bisa menilai seberapa tanggung jawab para peserta didik terhadap kebersihan kelas.
- Mengadakan ujian tulis sebagai acuan penilaian kognitif serta menguji seberapa jujur peserta didik dalam mengerjakannya.
- Memberikan penugasan berbentuk kliping, lalu memberikan catatan khusus bagi peserta didik yang tidak bisa mengumpulkan tepat waktu.
Tidak hanya lima contoh di atas, melainkan masih banyak kegiatan pembelajaran yang mendukung ranah afektif di kelas.
Itulah pembahasan Quipper Blog tentang afektif. Semoga bisa bermanfaat buat Bapak/Ibu. Jangan lupa untuk tetap menjaga kesehatan dengan mematuhi protokol 3M. Update terus informasi mengenai dunia pendidikan hanya di Quipper Blog. Salam Quipper!