
Dokter bisa dibilang merupakan salah satu profesi yang paling diidamkan. Setiap orang tua pasti bermimpi untuk bisa menguliahkan anaknya di fakultas kedokteran. Bagaimana tidak, profesi dokter sering diidentikkan dengan pekerjaan mulia yaitu memyembuhkan orang sakit.
Jika diri kita atau orang tua menderita sakit, bahkan sakit parah, kita akan sangat berterima kasih dan mungkin kagum dengan dokter yang telah melakukan pekerjaannya.
Selain itu, tidak bisa dipungkiri, dokter identik dengan penghasilan besar dan hidup mewah; barangkali ini merupakan faktor terbesar yang mendorong orang banyak untuk kuliah kedokteran.
Meskipun demikian, perjalanan untuk menjadi dokter sangatlah tidak mulus; bisa dikatakan cukup berat. Setelah menjadi dokter pun, belum tentu ekspektasi yang diharapkan bisa terpenuhi.
Intinya, menjadi dokter tidaklah seindah yang dibayangkan kebanyakan orang yang tidak memahami profesi tersebut.
Jadi, kamu ingin menjadi dokter? Atau kamu ingin anak-anak kamu kelak menjadi dokter? Berikut adalah hal-hal yang harus diketahui sebelum benar-benar membulatkan tekad memilih profesi tersebut!
Harus menempuh studi yang lama
Quipperian mungkin sudah banyak yang mengetahui bahwa perjalanan menjadi dokter tidaklah ringan. Di fakultas lain masa studi bisa diselesaikan dalam 4 tahun—bahkan ada yang 3,5 tahun bagi mereka yang pintar—namun untuk menjadi dokter waktu yang dibutuhkan minimal adalah 5 tahun. Justru, masih ada beberapa fakultas kedokteran (FK) di beberapa universitas yang masih menerapkan pendidikan 6 tahun.
Jenjang pendidikan kedokteran secara umum dibagi 2, yaitu tahap sarjana kedokteran dan pendidikan profesi yang lebih dikenal sebagai tahapan koas. Tahap sarjana bisa ditempuh minimal selama 3,5 atau 4 tahun, tergantung kebijakan masing-masing FK. Perlu diketahui, jika di fakultas lain mungkin ada program percepatan, maka di FK tidak ada.

Tiga setengah atau empat tahun benar-benar waktu fix yang harus dilalui. Setelah diwisuda menjadi sarjana kedokteran (S.Ked), calon dokter pun langsung menjalani pendidikan profesi di rumah sakit.
Jika dihitung-hitung, saat mahasiswa fakultas lain rata-rata sudah lulus, berpenghasilan, punya istri dan anak, mahasiswa FK sedang jaga malam di RS
Beratnya proses pendidikan dokter
Tidak hanya lama, pendidikan kedokteran juga dikenal sebagai pendidikan yang tidak mudah. Tanyakanlah kepada para mahasiswa fakultas lain yang bertetangga dengan fakultas kedokteran; mereka akan mengatakan bahwa teman-teman di FK menjalani pendidikan yang berat. Itu baru fase S.Ked; di masa koas, proses pendidikannya pun menjadi jaluh lebih menantang.
Kuliah kedokteran identik dengan banyaknya materi yang harus dipelajari. Tidak seperti kuliah teknik atau sains yang banyak bermain logika, orang yang mempelajari ilmu kedokteran dituntut untuk banyak membaca.
Jika tidak banyak membaca, otomatis tidak akan banyak tahu dan dijamin ketika ujian pun bingung. Memang banyak yang harus “dihapal” layaknya pelajaran biologi ketika SMA, namun juga harus dipahami agar benar-benar bisa mengerti dan ilmunya tidak hilang begitu saja. Alhasil, pekerjaan mahasiswa FK ialah banyak membaca.

Sekarang hampir semua (atau semua ya?) FK sudah menerapkan sistem kurikulum yang menuntut mahasiswa untuk “belajar sendiri,” atau disebut dengan kurikulum problem based learning (PBL). Pada sistem ini, kuliah amat minim.
Kenapa? Karena, di FK, kuliah tentang ilmu kedokterannya hanya sekitar 6 jam per minggu. Sisanya dipelajari dalam kelompok diskusi PBL, yang notabene tiap mahasiswa harus mencari dan belajar sendiri.
Nah, bagaimana ketika diskusi bingung dan mentok? Jangan berharap bertanya ke dosen; mungkin ada dosen berhati malaikat yang mau menjawab, namun kebanyakan akan menjawab, “Baca sendiri, ya!” Begitulah, mahasiswa benar-benar harus membaca sendiri textbook.
Bentuk ujian di FK pun tidak hanya berupa ujian tulis. Ada bentuk ujian yang meminta mahasiswa untuk mempraktekkan keterampilan klinik, apakan itu berupa wawancara medis, pemeriksaan fisik, atau tindakan bedah.
Ujian ini dikenal dengan OSCE. Keterampilan tersebut diujikan ke standard patient atau ke manekin, langsung di hadapan penguji, dan peserta rata-rata hanya diberi waktu 10 menit. Setelah selesai, peserta keluar ruangan dan berpindah ke ruangan selanjutnya untuk mempraktekkan keterampilan yang berbeda, tergantung soal. Dan, bagi yang pernah merasakannya, seperti naik roller coaster!
Ya, intinya, ujian OSCE “tidak seberapa” dibandingkan ujian SOOCA. Tidak semua FK menerapkan jenis ujian ini. Intinya, ada 15 kasus yang mesti dipelajari oleh mahasiswa. Saat ujian, kasus tersebut akan diundi, dan peserta diberi waktu 20 menit mempresentasikannya di hadapan 2 penguji. Bagi yang pernah mengalaminya, rasanya seperti jatuh dari gedung tinggi.
Sudah siap jadi manasiswa Kedokteran? Cek update terbaru seputar kuliah di Jurusan Kedokteran!
Menjadi Koas yang tahan banting
Koas atau “dokter muda” merupakan tahapan pendidikan profesi yang dijalani di rumah sakit. Peserta didik akan mengitari setiap departeman yang ada di RS, seperti depaertemen penyakit dalam, ilmu kesehatan anak, bedah, kebidanan dan kandungan, dst.
Koas adalah program profesi yang harus lakukan oleh mahasiswa kedokteran untuk mendapatkan gelar doktor yang dilaksanakaan di rumah sakit dalam kurun waktu 1.5 tahun hingga 2 tahun.
Di tahapan ini, ilmu yang dipelajari di masa sarjana diterapkan di tiap bagian. Walau kebanyakan sih, “belajar lagi dari awal” karena apa yang ada di saat mahasiswa sudah dilupakan. Tidak heran kalau koas selalu dimarah-marahi oleh konsulen (dokter spesialis pengajar).
Sama seperti ketika sarjana, jangan berharap ada kuliah atau ada konsulen yang mau mengajarkan atau menjawab pertanyaan. Jika ada koas bertanya, kebanyakan akan ditanya balik, dan ujung-ujungnya disuruh belajar sendiri.
Sumber: mohammedelziyad
Semuanya harus benar-benar harus dipelajari karena keesokan hari sang konsulen bisa menagihnya. Ya karena itulah, penting untuk berdoa supaya dapat konsulen yang baik.
Kemudian, hal paling penting dari tahap koas ialah jaga malam. Frekuensi jaga tergantung bagian, ada yang seminggu sekali, seminggu dua kali, dua minggu tiga kali. Bahkan, setelah selesai jaga malam, paginya langsung lanjut bertugas hingga sore.
Jadi, masuk dari pagi dan baru pulang besok sorenya. Ya masih bisalah curi-curi waktu tidur. Berdoa saja residen (dokter yang sedang menempuh pendidikan dokter spesialis) baik hati dan tidak banyak menyuruh-nyuruh. Jadi tidak perlu heran setelah bertugas satu setengah hari nonstop kebanyakan koas menjadi zombie.
Setelah 5 atau 6 tahun studi, masih ada uji kompetensi nasional
Ujian ini dulu dikenal dengan Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI), sekarang berganti nama menjadi Uji Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter (UKMPPD). Setelah selesai masa koas, calon dokter belum bisa menjadi dokter jika belum lulus ujian ini.
Terdiri dari 2 bentuk, yaitu ujian tulis dan ujian OSCE, ujian ini diselenggarakan secara nasional dan standar soalnya pun skala nasional, seperti UN. Jika belum lulus ujian, calon dokter mesti menunggu 3 bulan berikutnya untuk ujian ulang.
Dalam setahun, uji kompetensi diselenggarakan empat kali. Kalau belum lulus juga, terus saja ujian ulang sampai lulus. Bahkan dari kabar santer yang terdebgar, ada yang ikut sampai belasan kali tapi belum lulus juga!
Ujian ini penting untuk menjaga kualitas dokter Indonesia. Saat ini ada 73 atau lebih FK di negeri ini dan belum semuanya terakreditasi. Ilmu kedokteran tidak berhubungan dengan mesin, benda mati, atau hewan; ia diaplikasikan untuk manusia hidup.
Tentu mengerikan bukan jika kita atau keluarga kita diobati oleh dokter yang kualitasnya tidak jelas? Karena itulah, calon dokter benar-benar harus belajar keras menghadapi ujian ini, terlebih nilai minimal untuk lulus ialah 68!
Setelah lulus harus mendapat gaji di bawah standar buruh!
Program ini dikenal dengan Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) atau lebih dikenal dengan internsip. Program ini ialah syarat agar dokter yang baru lulus tersebut bisa menjalankan praktek. Kalau belum menjalani internsip, maka ia belum berhak untuk bekerja atau praktek.
Internsip dijalankan secara nasional dengan wahana kerja yang menyebar dari Sumatera hingga Papua. Jika beruntung, bisa dapat wahana kerja yang tidak jauh dari rumah, tapi jika kalah cepat, siap-siap untuk pergi ke daerah.
Selama setahun, dokter internsip bekerja di puskesmas dan rumah sakit layaknya dokter, namun masih dalam bimbingan dokter senior. Yah tergantung wahananya. Di daerah yang kekurangan dokter, peserta internsip akan bekerja layaknya dokter tetap.

Hal yang cukup disesalkan dari program ini ialah penghargaan kurang bagi dokter internsip. Gaji bagi mereka ialah 2.5 juta/bulan, sebelum dipotong pajak. Padahal, banyak dokter internsip yang bekerka layaknya dokter umum dan bahkan banyak juga yang sangat diberdayakan karena jumlah dokter yang kurang.
Memang setiap wahana memiliki kebijakan apakah mau memberikan insentif tambahan, tapi banyak juga yang tidak memberikan apa-apa. Bisa dibayangkan bagi yang mesti ke daerah, berarti harus menyewa kostan dan mencari makan sendiri: gaji 2.5 juta tidak akan cukup memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Bagi saya, cukup menyedihkan sudah bergelar dokter namun untuk kebutuhan hidup sehari-hari masih harus di-suport orang tua.
Rencana penambahan masa studi dokter menjadi 9 tahun
Di Undang-Undang Pendidikan Kedokteran sudah tertuang apa yang disebut dengan Dokter Layanan Primer (DLP) untuk memenuhi kebutuhan era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Di peraturan disebutkan bahwa dokter yang ingin bekerja di fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS di tingkat pertama (seperti puskesmas, klinik pratama, dll) wajib menempuh pendidikan tambahan selama 3 tahun untuk menjadi DLP (setelah menjalani internsip). Artinya, jika ingin menjadi dokter umum yang praktek di klnik atau puskesmas, tahapan yang harus ditempuh ialah 5 tahun kuliah kedokteran, 1 tahun internsip, dan 3 tahun pendidikan DLP—total 9 tahun!
Bagaimana jika ada dokter yang tidak mau menempuh DLP? Dokter tersebut tidak berhak untuk praktik. Pilihan baginya ialah menjadi peneliti atau dosen (yang tidak praktek), ambil sekolah spesialis (yang rata-rata lama pendidikannya 5 tahun), atau jadi pedagang.
Penulis: Sritopia