Home » Mapel » Sejarah » Mengulik Sepak Terjang 3 Tokoh Pejuang Tanpa Gelar Pahlawan Nasional!

Mengulik Sepak Terjang 3 Tokoh Pejuang Tanpa Gelar Pahlawan Nasional!

Pahlawan memang sangat bias sih, maknanya. Quipperian bisa dengan mudah menyatakan kekasihnya bahkan teman sebangkunya pahlawan ketika mereka berjasa besar bagi hidupmu.

Tentu lain halnya dengan sematan Pahlawan Nasional. Gelar tersebut merupakan tanda kehormatan negara kepada seorang tokoh atas jasa besarnya kepada negara.

Menjelang peringatan HUT RI, tiap tahun, negara akan memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada salah seorang tokoh. Melalui sebuah panitia, beberapa nama tokoh-tokoh lantas diteliti untuk bisa diberi gelar kehormatan tersebut.

Tapi, tak semua tokoh berpengaruh bahkan berjasa besar untuk negara di masa lampau bisa beroleh gelar Pahlawan Nasional.

Bisa lantaran belum diajukan, atau belum diriset secara mendalam, atau karena alasan lainnya. Yang jelas masih ada beberapa tokoh-tokoh berpengaruh belum mendapat gelar tersebut.

Quipper Blog menghimpun kisah 3 tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia tanpa gelar Pahlawan Nasional. Siapa saja tokoh itu?

1. Tan Malaka

id.wikipedia.org

Tokoh pejuang kelahiran Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatra Barat, 21 Februari 1897 ini tersohor sebagai “Lelaki Seribu Nama.”

Sosoknya sangat misterius sampai suatu saat seorang sejarawan Belanda, Harry Poezoe, berhasil mengungkap secara rinci sepak terjangnya.

Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka bukan nama paling gampang kita ucap di ruang terbuka. Beberapa kali diskusi, bedah buku, dan pemutaran film tentang pendiri Partai Murba selalu mendapat penolakan.

Ia tercatat sebagai pejuang revolusioner, militan, dan radikal. Buah pikir kritis tentang negeri jajahan, penindasan imperialisme, bahkan republik, dapat disaksikan melalui karya-karya, seperti Naar de Republiek Indonesia, Madilog, dan Dari Penjara ke Penjara.

Buku Naar de Republiek bahkan menginspirasi beberapa pejuang untuk melawan kekuasaan kolonial. Pengaruh Tan Malaka begitu luas, baik di dalam maupun di luar negeri. Ia aktif membangun jaringan dengan tokoh anti-imperialis di luar negeri.

Pada saat menghadiri Kongres Komintern keempat di Moskow, Tan Malaka lantas ditunjuk sebagai wakil Komintern Asia Tenggara, membawahi wilayah Filipina, Burma, Siam, Annam, dan Indonesia.

Ia mengampu tugas baru untuk membuka jejaring di kawasan Asia dan harus kejar-kejaran dengan intel asing. Tak heran bila sepanjang 20 tahun bertualang di negeri orang selalu menggunakan nama samaran.

Sepulang berkelana, Tan Malaka sempat berada di Jakarta saat menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ia tetap bergerak di bawah tanah meski kemerdekaan telah berkumandang. Saat pelariannya, Tan Malaka tewas ditembak di Jawa Timur pada 21 Februari 1949.

Tak ada gelar Pahlawan Nasional tersemat pada sosok nan berjasa besar bagi dunia pergerakan Indonesia semasa melawan kolonialisme Belanda ini.

2. SK Trimurti

Surastri Karma Trimurti mula-mula mengabdikan diri sebagai seorang pengajar. Tokoh pejuang perempuan kelahiran Boyolali, 11 Mei 1912 ini lantas aktif berorganisasi.

Ibu Tri, sapaannya, lantas begabung dan ikut pelatihan kader Partai Indonesia (Patindo) di Bandung. Di sana, ia berjumpa dengan Soekarno.

Bung Besar memintanya menulis artikel untuk majalah Pikiran Rakyat. Ia pun mengamini dan sangat serius menggeluti dunia jurnalistik, hingga akhirnya diangkat menjadi Pemimpin Redaksi Pikiran Rakyat.

Bu Tri secara luas mengampanyekan isu-isu kebangkitan perempuan untuk tak sekadar mengurus masalah domestik, semisal dapur, kasur, dan sumur.

Buah pikirnya itu kemudian dituangkan ke dalam artikel. Dia pun sangat keras menentang kebijakan Belanda. Tak heran bila dirinya sering keluar-masuk penjara lantaran hal tersebut.

Ia tak pernah kapok. Perjuangannya menghapus kolonialisme dan memajukan perempuan terus berlanjut. Bahkan setelah Indonesia merdeka. Bersama Trees Metty dan Umi Sardjono, Trimurti menginisiasi Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) pada 1950. Isu perempuan tetap jadi motor gerakan.

Berbagai pelatihan dan pembelajaran berkenaan dengan kemandirian perempuan digelar rutin. Pada 1954, Gerwis mengubah namanya menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).

Di sana, Trimurti semakin aktif berfokus pada isu pernikahan di bawah umur, poligami, dan hak-hak pekerja perempuan. Ia pun sangat giat bergelut di dunia buruh. Trimurti ikut mendirikan Barisan Buruh Wanita, organisasi buruh perempuan pertama di Indonesia.

Trimurti juga dipercaya menjadi Menteri Perburuhan Indonesia pertama pada tahun 1947, di kabinet Amir Sjarifuddin. Tawaran menjadi Menteri Sosial pada tahun 1959 sempat ditepisnya lantaran ingin fokus menuntaskan kuliah Ekonomi di Universitas Indonesia.

Di usia senja, Bu Tri tak pernah merasa tua untuk terus berpikir kritis. Ia bersama puluhan tokoh lainnya ikut menandatangani Petisi 50, berisi kritik terhadap Presiden Soeharto lantaran menggunakan Pancasila sebagai dalih menyingkirkan seteru politiknya.

Keikutsertaannya pada Petisi 50 tentu berimbas besar. Soeharto merespon keras. Tapi lagi-lagi, ia tetap tak surut langkah.    

Pada 2008, di usia 96, SK Trimurti meninggal setelah sempat dirawat selama dua minggu di RSPAD. Jenazahnya lantas dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

3. Amir Sjarifuddin

id.wikipedia.org

Kisah pejuang nan dilupakan sangat tepat disematkan pada sosok pria kelahiran Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907 satu ini.

Amir Sjarifoeddin Harahap merupakan politik ulung dan revolusioner. Ia salah satu Bapak Pendiri Bangsa, berdampingan dengan Soekarno, Hatta, dan Sjahrir.

Tapi, riwayatnya tak seharum tiga tokoh tersebut. Amir seringkali bergerak di bawah tanah. Ia mendirikan Partai Indonesia (Partindo) dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).

Perjuangannya mulai tersemai ketika dirinya berjumpa Mr. Muhammad Yamin. Saat melancong ke Jakarta, Amir ditampung senior satu sekolahnya Yamin di asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106.

Semasa sekolah, Amir aktif di beberapa organisasi, seperti Perhimpunan Siswa Gymnasium di Haarlem, dan CSV-op Java, cikal bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia).

Di Jakarta, Amir tak pernah lelah berdiskusi bersama teman-teman pergerakannya, terutama para pelajar di asrama Indonesisch Clubgebouw.

Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir bergerak di bawah tanah menggalang aliansi untuk menghancurkan fasisme. Ia menolak berkolaborasi dengan Jepang.

Peristiwa Madiun menjadi titik balik perjuang Amir Sjarifuddin. Setelah Peristiwa Madiun 1948, pada masa pemerintahan Hatta, PKI di bawah Musso bertekad memproklamasikan Madiun sebagai basis Republik Indonesia Soviet.

Musso menolak pemerintahan Soekarno-Hatta. Pertempuran pun tak bisa dihindari. Pasukan Musso berhasil diredam dan sang inisiator pun tewas.

Amir Sjarifuddin, sebagai salah seorang tokoh PKI, saat peristiwa Madiun meletus sedang berada di Yogyakarta dalam rangka kongres Serikat Buruh Kereta Api (SBKA), turut ditangkap beserta beberapa kawannya.

Tengah malam, 19 Desember 1948, di kompleks makam desa Ngalihan, seorang Letnan Polisi Militer mengeksekusi Amir Sjarifuddin. Dari sebelas orang di antara rombongan dari penjara di Solo, Amir merupakan orang pertama yang ditembak. Ia pun meregang nyawa.

Quipperian, tiga tokoh pejuang di atas bisa menjadi contoh betapa jasa seseorang tak hanya bisa diukur dengan penghargaannya. Semoga kisah tersebut bermanfaat bagi Quipperian. Jangan lupa simak artikel menarik lainnya hanya di Quipper Blog, ya. Tetap semangat dan merdeka! (*)

Sumber foto:

Penulis: Rahmat Ali

Lainya untuk Anda